Kuat Mana? Otonomi Daerah
atau Kewenangan Pusat dalam MoU Investor Asing?
Salah satu kelebihan kebijakan Otonomi Daerah adalah kebebasan yang
diberikan dari Pemerintah Pusat kepada daerah untuk mengelola sendiri Sumber
Daya Daerahnya demi kemajuan daerah, hampir di semua lini, apakah pendidikan,
sosial budaya, bahkan sampai yang paling krusial, ekonomi. Setidaknya, itulah
yang aku fahami.
Belakangan, untuk kita
yang tinggal di Sumatera Utara khususnya, sempat terusik dengan pengalihan
jalan tol yang mulai dirancang sejak zaman Presiden SBY hingga Presiden yang
sekarang. Terkait kasus pengelolaannya ke investor Asing. Media, khususnya
media sosial mulai diramaikan dengan pernyataan Sultan D.I Yogyakarta,
“Indonesia ini negara kita, masak jalan di negara kita sendiri harus bayar?”
begitulah kira-kira.
Pernah, tanpa sengaja
aku duduk semeja dengan supir truk yang membawa barang dari Perbatasan Propinsi
Riau ke Belawan. Di sela-sela menikmati secangkir teh yang disuguhkan ibu
penjual, kutanya, “Pak, kenapa Bapak enggak lewat tol aja? Ini jalanan jadi
macet parah lo karena orang bapak juga lewat di jalan umum. Apalagi kami yang
kemana-mana biasa naek angkot, waktu habis di jalan rasanya,”
Si Bapak supir
tersenyum sebelum menanggapi pertanyaanku.
“Dek, tarif tol dari
Tanjung Morawa sampek Belawan itu, setara sama uang makan kami di jalan satu
hari. Lah, kami enggak diburu waktu, ya lebih baik kami lewat jalan umum supaya
uangnya bisa buat tambahan jajan anak-anak di rumah,” katanya sambil menghirup
kopinya.
“Iya, bapak enggak
diburu waktu, kami?” tanyaku lagi masih kurang puas.
“Maaflah dek, mau
gimana lagi. Kami setiap jalan itu dikasih lebihan uang jalan untuk dana tak
terduga. Untuk bocor ban atau kerusakan mobil lain diambil dari uang itu,
namanya juga perjalanan jauh. Tapi kami enggak punya uang insentif tambahan
lagi, uang inilah yang kami jadikan insentif walaupun beresiko. Apalagi sejak
tarif tol mahal, ketika di jalan mobil rusak, bayar tol mahal, mau tak mau gaji
kami terpotong untuk menutupinya. Kasihan keluarga di rumah, bukannya kasih setoran
lebih, kok malah berkurang,” ceritanya.
Jika kalian ada di
posisiku. Apakah kalian merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan ketika
itu? Perasaan iba sesama rakyat, atau perasaan marah karena kebijakan
pemerintah yang tidak memihak pada rakyat?
Jadi curhat pulak,
ya...
Jadi gini, aku cuma
mau kasih informasi bahwa memang, kebijakan investor dan tenaga kerja asing
yang masuk ke negara kita itu murni wewenang Pemerintah Pusat. Ini juga yang
disampaikan oleh Buk Sabrina, selaku Sekda Provinsi Sumatra Utara. Artinya,
jika kita mau ambil permodalan dari investor untuk Daerah, kewenangan
Pemerintah Daerah hanya sebatas prosedur dan kelengkapan administrasi. Masalah
ACC dan MoU diserahkan ke Pusat. Di sisi lain, kita yang merasa pernah
terzholimi Pemerintah Pusat atas kebijakan-kebijakan serupa harus juga melihat
kesalahan kita sebagai rakyat. Dimana letak kesalahannya?
Menurut cara pandangku
pribadi loh, ya...
Kesalahan kita itu
terletak pada tidak fahamnya kita makna dari Otonomi Daerah. Otonomi Daerah
itu, yang sering memanas itu seperti Kebijakan di Bali saat Nyepi. Nah, pada
hari raya Nyepi, Bali itu dikondisikan benar-benar dalam kondisi hikmat, bahkan
bandara ditutup tanpa ada penerbangan. Itu Otonomi Daerah, dan tidak ada yang
perlu tersinggung dengan Kebijakan tersebut, karena memang masyarakat Bali
mayoritas adalah Hindu.
Contoh lain yang tidak
mengikat kebijakan pemerintah misalnya saat berkunjung ke Mesjid Raya al-Maksum
di Medan, para turis non Muslim diwajibkan oleh BKM untuk mengenakan pakaian
sesuai syariat Islam, biasa dipinjamkan sarung dan jilbab untk yang perempuan.
Mereka tidak perlu keberatan, karena ini sudah aturan dan kebijakan wilayah
mesjidnya. Bahasa lainnya, kalo kita keberatan enggak perlu dinyinyirin, tapi
enggak usah masuk sekalian, selesai perkara. (Loh.. kok jadi ngomongin ini)
(Izin ya... gambar diambil bebas dari google image)
Entah dimana salahnya,
seringkali informasi itu tidak tersampaikan dengan baik. Ibarat permainan
komunikata, ketika di awal disebutkan ada 7 kata, ketika sampai ke penerima
terakhir sudah berkurang satu, atau bertambah atau malah berganti. Menanggapi
ini...
Aku ingin kita
berfikir ulang, terkhusus yang muda-muda yakK. Yang beneran pemuda biasa punya
prinsip, “Pemuda tidak berharap bantuan pemerintah”. Maksudnya, kita yang
muda-muda ini lebih bangga ketika apa-apa itu bisa berupaya dan menikmati hasil
yang diupayakan oleh tangan sendiri. Yang perlu difikirkan itu, kuat peran
siapa sih, Otonomi Daerah atau Kewenangan Pusat dalam MoU investor asing?
Kalau kita sepakat,
Otonomi Daerah lebih kuat perannya, mari sama-sama kita berbenah untuk kemajuan
daerah masing-masing. Karena aku di Sumut, di Sumut itu punya wilayah pertanian
sayur-mayur, maka dengan Otonomi Daerah Petani harus didukung penuh, dan
Pemerintah Daerah menjamin, misalnya setiap supermarket yang dimiliki Asing di
Daerah Sumut bahkan Indonesia harus ambil sayuran dan bahan sejenis dari hasil
bumi Petani Sumut.
Atau, Sumut merupakan
salah satu Propinsi penghasil Sawit. Kebijakan pasar harga sawit bisa jadi
Kewenangan Pemerintah Pusat. Saat menanggulangi kasus harga sawit anjlok
masa-masa ini, Otonomi Daerah bisa saja melakukan kebijakan bahwa Sawit Sumatera
Utara hanya akan diolah untuk memenuhi kebutuhan pokok di Sumut, dan masyarakat
pun harus komitmen beli produk jadinya semisal minyak goreng made in Sumut,
sabun krim Made in Sumut dan seterusnya.
Tapi, jika kita
sepakat bahwa Kewenangan Pemerintah Pusat lebih kuat. Maka sampai kapan kita
adu argumen sesama kita bahwa Pemerintah tidak berpihak pada rakyat dan
seterusnya... bukankah Pemerintah itu kita yang memperkerjakan? Masak seorang
yang memberi kerjaan malah meminta pamrih dari pekerjanya?