Kamis, 21 Maret 2019


Kuat Mana? Otonomi Daerah atau Kewenangan Pusat dalam MoU Investor Asing?

Salah satu kelebihan kebijakan Otonomi Daerah adalah kebebasan yang diberikan dari Pemerintah Pusat kepada daerah untuk mengelola sendiri Sumber Daya Daerahnya demi kemajuan daerah, hampir di semua lini, apakah pendidikan, sosial budaya, bahkan sampai yang paling krusial, ekonomi. Setidaknya, itulah yang aku fahami.
                Belakangan, untuk kita yang tinggal di Sumatera Utara khususnya, sempat terusik dengan pengalihan jalan tol yang mulai dirancang sejak zaman Presiden SBY hingga Presiden yang sekarang. Terkait kasus pengelolaannya ke investor Asing. Media, khususnya media sosial mulai diramaikan dengan pernyataan Sultan D.I Yogyakarta, “Indonesia ini negara kita, masak jalan di negara kita sendiri harus bayar?” begitulah kira-kira.
                Pernah, tanpa sengaja aku duduk semeja dengan supir truk yang membawa barang dari Perbatasan Propinsi Riau ke Belawan. Di sela-sela menikmati secangkir teh yang disuguhkan ibu penjual, kutanya, “Pak, kenapa Bapak enggak lewat tol aja? Ini jalanan jadi macet parah lo karena orang bapak juga lewat di jalan umum. Apalagi kami yang kemana-mana biasa naek angkot, waktu habis di jalan rasanya,”
                Si Bapak supir tersenyum sebelum menanggapi pertanyaanku.
                “Dek, tarif tol dari Tanjung Morawa sampek Belawan itu, setara sama uang makan kami di jalan satu hari. Lah, kami enggak diburu waktu, ya lebih baik kami lewat jalan umum supaya uangnya bisa buat tambahan jajan anak-anak di rumah,” katanya sambil menghirup kopinya.
                “Iya, bapak enggak diburu waktu, kami?” tanyaku lagi masih kurang puas.
                “Maaflah dek, mau gimana lagi. Kami setiap jalan itu dikasih lebihan uang jalan untuk dana tak terduga. Untuk bocor ban atau kerusakan mobil lain diambil dari uang itu, namanya juga perjalanan jauh. Tapi kami enggak punya uang insentif tambahan lagi, uang inilah yang kami jadikan insentif walaupun beresiko. Apalagi sejak tarif tol mahal, ketika di jalan mobil rusak, bayar tol mahal, mau tak mau gaji kami terpotong untuk menutupinya. Kasihan keluarga di rumah, bukannya kasih setoran lebih, kok malah berkurang,” ceritanya.
                Jika kalian ada di posisiku. Apakah kalian merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan ketika itu? Perasaan iba sesama rakyat, atau perasaan marah karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat?
                Jadi curhat pulak, ya...
                Jadi gini, aku cuma mau kasih informasi bahwa memang, kebijakan investor dan tenaga kerja asing yang masuk ke negara kita itu murni wewenang Pemerintah Pusat. Ini juga yang disampaikan oleh Buk Sabrina, selaku Sekda Provinsi Sumatra Utara. Artinya, jika kita mau ambil permodalan dari investor untuk Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah hanya sebatas prosedur dan kelengkapan administrasi. Masalah ACC dan MoU diserahkan ke Pusat. Di sisi lain, kita yang merasa pernah terzholimi Pemerintah Pusat atas kebijakan-kebijakan serupa harus juga melihat kesalahan kita sebagai rakyat. Dimana letak kesalahannya?
                Menurut cara pandangku pribadi loh, ya...
                Kesalahan kita itu terletak pada tidak fahamnya kita makna dari Otonomi Daerah. Otonomi Daerah itu, yang sering memanas itu seperti Kebijakan di Bali saat Nyepi. Nah, pada hari raya Nyepi, Bali itu dikondisikan benar-benar dalam kondisi hikmat, bahkan bandara ditutup tanpa ada penerbangan. Itu Otonomi Daerah, dan tidak ada yang perlu tersinggung dengan Kebijakan tersebut, karena memang masyarakat Bali mayoritas adalah Hindu.
                Contoh lain yang tidak mengikat kebijakan pemerintah misalnya saat berkunjung ke Mesjid Raya al-Maksum di Medan, para turis non Muslim diwajibkan oleh BKM untuk mengenakan pakaian sesuai syariat Islam, biasa dipinjamkan sarung dan jilbab untk yang perempuan. Mereka tidak perlu keberatan, karena ini sudah aturan dan kebijakan wilayah mesjidnya. Bahasa lainnya, kalo kita keberatan enggak perlu dinyinyirin, tapi enggak usah masuk sekalian, selesai perkara. (Loh.. kok jadi ngomongin ini)
(Izin ya... gambar diambil bebas dari google image)
                Entah dimana salahnya, seringkali informasi itu tidak tersampaikan dengan baik. Ibarat permainan komunikata, ketika di awal disebutkan ada 7 kata, ketika sampai ke penerima terakhir sudah berkurang satu, atau bertambah atau malah berganti. Menanggapi ini...
                Aku ingin kita berfikir ulang, terkhusus yang muda-muda yakK. Yang beneran pemuda biasa punya prinsip, “Pemuda tidak berharap bantuan pemerintah”. Maksudnya, kita yang muda-muda ini lebih bangga ketika apa-apa itu bisa berupaya dan menikmati hasil yang diupayakan oleh tangan sendiri. Yang perlu difikirkan itu, kuat peran siapa sih, Otonomi Daerah atau Kewenangan Pusat dalam MoU investor asing?
                Kalau kita sepakat, Otonomi Daerah lebih kuat perannya, mari sama-sama kita berbenah untuk kemajuan daerah masing-masing. Karena aku di Sumut, di Sumut itu punya wilayah pertanian sayur-mayur, maka dengan Otonomi Daerah Petani harus didukung penuh, dan Pemerintah Daerah menjamin, misalnya setiap supermarket yang dimiliki Asing di Daerah Sumut bahkan Indonesia harus ambil sayuran dan bahan sejenis dari hasil bumi Petani Sumut.
                Atau, Sumut merupakan salah satu Propinsi penghasil Sawit. Kebijakan pasar harga sawit bisa jadi Kewenangan Pemerintah Pusat. Saat menanggulangi kasus harga sawit anjlok masa-masa ini, Otonomi Daerah bisa saja melakukan kebijakan bahwa Sawit Sumatera Utara hanya akan diolah untuk memenuhi kebutuhan pokok di Sumut, dan masyarakat pun harus komitmen beli produk jadinya semisal minyak goreng made in Sumut, sabun krim Made in Sumut dan seterusnya.
                Tapi, jika kita sepakat bahwa Kewenangan Pemerintah Pusat lebih kuat. Maka sampai kapan kita adu argumen sesama kita bahwa Pemerintah tidak berpihak pada rakyat dan seterusnya... bukankah Pemerintah itu kita yang memperkerjakan? Masak seorang yang memberi kerjaan malah meminta pamrih dari pekerjanya?