Mengukur
Keikhlasan
Oleh: Ana Nasir
Seperti kalimat tanya pembuka yang sering kuajukan ke
siswa saat mengajar, ku mulai tulisan ini dengan pertanyaan yang sama.
Apa itu Fisika?
Dan seperti pengertian singkat yang sering kuucapkan
setelah mendengar jawaban tidak tahu, gelengan kepala, atau definisi yang
tertulis di buku-buku sekolah mereka; kali ini pun aku akan menjawab pertanyaan
tersebut dengan dua kata; Ilmu Ukur. Yah, bahwa Fisika adalah ilmu ukur.
Selanjutnya, seperti keterangan yang sering kujabarkan
setelah melihat wajah-wajah penuh tanya dari para siswa. Bahwa, di Fisika semua
bisa diukur. Mulai dari yang penting sampai yang kelihatannya tidak penting.
Mulai dari yang terlihat sampai yang tak terlihat. Penting; ketika mengukur
massa benda, suhu benda, dan seterusnya. Kelihatan tidak penting; saat mengukur
kecepatan dari mobil yang tabrakan. Terlihat; saat kita mengukur panjang,
kecepatan benda bergerak dan seterusnya. Tidak tampak; saat mengukur kecepatan
cahaya, panjang gelombang bunyi dan seterusnya.
Lalu ikhlas, bisakah Fisika mengukur ikhlas?
Bahkan 13 semester menyelesaikan studi sarjanaku di
Fisika, akupun tak yakin, ilmu yang disebut-sebut sebagai “The King of
Knowledge” ini bisa mengukur “Ikhlas”. Sejauh ini aku masih meyakini bahwa ikhlas
itu tetap seperti surah ke-112 di Al-Qur’an; menjadi nama, tapi tak satu
kalimat pun menyebutkannya.
Antara
Kehilangan dan Sedekah
Adakah insan di dunia ini yang tak pernah mengalami
kehilangan? Ku rasa tidak ada. Baik itu kehilangan benda, atau bahkan orang
yang dicintai. Pasti pernah, meskipun yang hilang itu sesuatu yang dianggap
tidak terlalu berharga. Kehilangan dan Sedekah, adalah dua parameter yang akan
kugunakan untuk mengukur kadar keikhlasan. Selanjutnya, sampel yang akan
menjelasakan detail kedua parameter ini adalah peristiwa yang kualami sendiri.
Jika terkesan seperti curhatan pribadi, maka tolong maafkan kedhoifanku, namun
sesungguhnya aku ingin setiap pembaca mengambil pelajaran dari penjabaran ini.
Sampel
pertama adalah dompet, dan sampel kedua kembali dompet. Meski kedengarannya
sama, tapi zhohirnya kedua benda ini adalah berbeda. Baik bentuk fisik, maupun
isi.
1.
Dompet
Pertama
Hari itu baru-baru saja aku pindah ke sebuah kamar di
Asrama putri Kampus USU. Pertengahan tahun 2012, atau awal memasuki semester 5
di kampus. Bisa jadi karena aku terbiasa tinggal dengan orang-orang dan
lingkungan yang aman dan terpercaya, maka kebiasaan meletakkan barang-barang
penting di tempat yang terkesan terbuka itu masih terbawa. Termasuk meletakkan
dompet di bagian atas rak buku.
Dompet
itu berisi sejumlah uang, cukup banyak untuk ukuran mahasiswa waktu itu. Sebab
bisa dipergunakan untuk melunasi satu bulan cateringanku, waktu itu. Tapi bukan
uangnya yang terpenting, di dalam dompet itu ada selembar kertas kuitansi,
dimana kertas kuitansi itu adalah syarat utama yang harus dibawa satu-satunya
adik perempuanku saat daftar ulang di kampus-nya.
Hari
dimana kusadari dompet itu hilang adalah hari yang sangat sibuk. Sibuk dengan
merapikan barang-barangku di kamar, sibuk dengan mensukseskan program di
organisasi kampus, dan ditambah memenuhi undangan salah seorang kakak, undangan
syukuran atas wisudanya. Sampai-sampai aku terlupa, bahwa adikku yang waktu itu
masih berada di kampung, akan segera kembali ke Medan untuk daftar ulang.
Bisa
dikatakan waktu yang tersisa masih sangat lama, karena masih ada sekitar 1
minggu lagi. Jeda waktu itu kumanfaatkan untuk mengingat-ingat tempat-tempat
mana saja yang kukunjungi sebelum sadar dompet itu hilang. Walaupun aku sangat
yakin, bahwa benda itu aku letakkan di atas rak buku saat merapikan kamar.
Karena memang biasanya begitu. Biasa meninggalkan dompet di atas rak, dan tidak
membawa ke kampus atau kemanapun. Dengan alasan, aku seseorang yang teledor,
dan lupa diri jika membawa uang lebih.
Sialnya,
satu-satunya tempat yang kuingat dan curigai adalah rumah kakak yang kami
datangi saat memenuhi undangan syukuran wisudanya. Di sana kami makan, dan
menumpang shalat di kamarnya karena sudah masuk waktu ashar. Dan, karena
pentingnya selembar kertas di dalamnya itu, aku mengabaikan kekuatan ingatanku;
bahwa dompet itu kutinggalkan di kamar, dan tidak ada di dalam tasku saat kami
ke sana. Aku kembali ke sana, yang akhirnya menyisakan kesan sangat tidak enak
hingga hari ini, bahkan meski aku telah minta maaf dan dimaafkan, karena
kedatangan kami yang diiringi selidik dan kecurigaan itu.
Empat
semester sebelumnya, aku sudah 3 kali kehilangan HP. Sampai-sampai sudah
menjadi rutinitas yang cukup mudah untuk dilupakan. Tapi kehilangan dompet
dengan selembar kuitansi di dalamnya cukup membuatku trauma berkepanjangan.
Bagaimana tidak, karena kejadian itu, orang tuaku sempat meminta petunjuk
kepada sepupunya yang mempunyai kemampuan gaib dalam hal demikian. Sialnya
lagi, bisa jadi karena rasa bersalahku kepada adikku, aku hampir mempercayai
petunjuk itu. Bahwa dompet itu hilang di kamarku, dan diambil oleh kawanku yang
tinggal di sekitaran asrama itu juga. Dan dalam waktu dekat akan dikembalikan.
Bagaimana
bisa dipercaya, jika teman sekamarku adalah kawan dekatku sejak mulai masuk di
kampus, orang yang hampir senantiasa bersamaku; bersamaku saat mensukseskan
program dari organisasi yang sama-sama kami ikuti sebelum kejadian, dan orang
yang bersamaku saat undangan dan kembali ke tempat undangan itu lagi. Dan,
orang tuaku menaruh kecurigaan besar pada dia. Jadi, aku ada di posisi rasa
bersalah pada adikku dan bersalah yang berkepanjangan jika sampai adikku tidak
jadi kuliah karena selembar kertas itu. Dan selain itu aku juga harus
meyakinkan orang tuaku, bahwa bagaimanapun tidak mungkin pelakunya adalah orang
yang mereka curigai itu.
Memang,
akhirnya kejadian itu terselesaikan. Adikku kembali ke Medan lebih awal.
Meminta bantuan ke calon senior di kampusnya perihal kuitansi yang hilang itu.
Tapi aku, aku terpaksa kembali menggagalkan 1 lab yang tahun sebelumnya gagal,
dan 1 lab yang menjadi mata kuliah wajibku di semester itu. Yah, aktifitas
praktikum di lab memang cukup menguras tenaga, fikiran dan kantong, meski
bebannya hanya 1 SKS. Kondisi kesehatanku tidak siap untuk mengahadapi 3 lab
sekaligus pada saat itu.
Setelah
beberapa hari sakit, orang tua memintaku pulang, yang akhirnya aku dilarang
memakan daging selama 1 tahun, padahal waktu itu sudah mendekati Idul Adha.
Dilarang minum susu sapi, karena kandungan asam didalamnya yang tidak sanggup
lagi bereaksi dengan asam di lambungku, padahal aku sangat ketergantungan
dengan susu. Dan buah-buahan yang memiliki kandungan asam berlebih. Yah, beban
stress juga faktor utama penyebab magh, dan aku harus berhati-hati atas
penyakit lain yang pernah kuidap sebelumnya.
Lalu,
apakah kejadian ini sudah benar-benar selesai? Ternyata tidak, ketika rasa
ikhlas itu sudah mulai dapat kurajut perlahan. Ada peristiwa lain yang terkesan
ganjil. Hari itu, aku dan adikku akan berkunjung ke rumah kerabat dekat.
Sebelum keberangkatan kami, aku memilih salah satu baju yang akan kukenakan,
namun karena beberapa pertimbangan aku tidak jadi mengenakannya. Dan entah
kenapa, kebiasaan orang yang mengambil baju, lalu mengembalikannya lagi pasti
meletakkannya di bagian atas, tapi kali itu tidak. Aku mengembalikan baju yang
tidak jadi dikenakan itu ke tempat semula; di bagian pertengahan susunan baju.
Kejadian
ganjil itu pun ternyata menjadi petunjuk aneh, yang membuatku masih bergidik
setiap mengingatnya. Sepulang dari kunjungan ke rumah kerabat itu, teman
sekamarku memberi kabar kalau ia tidak pulang karena akan menghadiri undangan
walimah di Lima Puluh. Adikku menyusun beberapa pakaian yang baru saja di
setrikanya ke lemariku, malam itu. Dialah orang pertama yang bergidik saat
melihat di atas lipatan baju yang tidak jadi kukenakan sebelumnya, dompet yang
beberapa waktu sebelumnya membuat geger.
“Kak,
sinilah cepat!” teriaknya yang membuatku hampir melompat dari tempat dudukku
karena teriakannya itu. Aku cuma bisa menangis karena gemetar dan ngeri melihat
benda itu terletak di antara lipatan baju. Sangat ngeri, karena sebelumnya aku
telah mengambil baju itu dari lemari, lalu mengembalikannya ke tempat semula;
ke bagian tengah susunan baju; dan saat itu kulihat dompet putih berisi
beberapa lembar uang, beberapa foto teman SMA dan secarik kertas yang jauh
lebih berharga dari uang itu terletak di sana.
Setelah
menenangkan diri, kuambil dompet itu dan kupandangi beberapa waktu. Meski
seringkali dianggap teledor, sebenarnya aku orang yang sangat ingat
detail-detail barang-barang pribadiku. Ketika akhirnya aku punya kekuatan untuk
membukanya, aku tahu, meski jumlah uang, dan isinya yang lain tetap, tapi
susunan lembaran uangnya berubah. Aku yakin. Dompet itu kembali, setelah
dipinjam beberapa waktu oleh orang yang tak tahu siapa. Dan aku kembali butuh
beberapa waktu untuk mengkondisikan jiwaku, melupakan, untuk bisa kembali
merajut ikhlas.
2.
Dompet
Kedua
Meski kejadiannya lebih baru dari kejadian pertama, aku
hampir tidak bisa memperkirakan waktunya. Tapi pas kejadian hilangnya dompet
itu, sebelumnya juga hari yang sangat sibuk. Aku baru menghadiri rapat di
Mesjid Kampus untuk suksesi salah satu program dari organisasi yang aku turut
bertanggungjawab di dalamnya. Kembali ke Fakultas untuk kepentingan kuliah, dan
menghadiri rapat juga untuk agenda dari organisasi yang di Fakultas. Selepas
dari situ aku bergerak ke salah satu rumah, untuk mengikuti agenda Mabit
malamnya.
Sesampainya di sana, aku masuk ke kamar teman yang
tinggal di rumah itu, bersih-bersih, dan meletakkan sembarang tasku. Sesampainya
di sana, aku tidak yakin apakah malam itu dompetku masih di dalam tas, atau
sudah tidak ada. Tapi aku baru sadar dompet itu tidak ada setelah aku sampai ke
kamarku keesokan harinya.
Apa isi dompet itu?
Entah karena masih trauma dengan peristiwa pertama, aku
akhirnya memang memutuskan untuk membawa dompetku kemanapun. Terlebih saat itu
aku baru dapat dua amanah sebagai bendahara. Di dalam dompet itu terdapat 4
buah ATM. ATM Bank Sumut Syariah, yang kudapat dari beasiswa yang pernah
kudapat sebelumnya, biasanya digunakan untuk mentransfer beasiswa bulanan dari
kampung juga. Artinya ATM ini tempat uang pribadiku. ATM BRI Syariah, yang baru
saja kubuat untuk salah satu keperluan dan karena peristiwa itu keperluan yang
kurencanakan jangka panjang itu tidak jadi berjalan. ATM BTN, yang sebelumnya
sengaja dibuka untuk syarat pengajuan beasiswa, karena gagal mendapatkan
beasiswanya, ATM ini hampir tidak dipergunakan sama sekali, walaupun aku
merencanakan sesuatu juga untuk pemanfaatannya. Dan ATM BNI, sekaligus sebagai
KTM, di dalamnya terdapat uang Kas dari salah satu organisasi yang aku baru
saja bertanggungjawab sebagai bendahara.
Selain 4 ATM itu, di dalamnya juga ada e-KTP yang baru
saja dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dan sejumlah uang, yang nominalnya
jauh lebih banyak dari dompet pertama. Namun sialnya uang itu bukan uang
pribadi, melainkan uang Kas dari kelompok Pengajian mingguanku. Sebenarnya
secara fisik, isi dompet ini jauh lebih banyak dari dompet sebelumnya. Tapi
berhubung sudah memiliki pengalaman sebelumnya, secara psikologis aku jauh
lebih siap menerima peristiwa ini. Walaupun, meski telah dilarang, orang tuaku
tetap meminta petunjuk dari sepupunya itu.
Orang tuaku mengabarkan kalau dompet itu diambil oleh
seseorang yang beralamat asal di Sibolga. Tapi tidak dijelaskan dimana tempat
hilangnya. Apakah di Mesjid Kampus, atau beberapa tempat yang kukunjungi di
Fakultas, atau di rumah tempat kami Mabit. Tapi yang kuingat, orang tuaku cuma
bertanya, “Na, coba tanya sama kawanmu yang tinggal di rumah tempat kalian
nginap itu, ada enggak orang Sibolga tinggal di rumah itu?”
Konyolnya, di rumah itu ada anak yang berasal dari
Sibolga, meski secara lahir kita tidak bisa mencurigai beliau, terlebih tidak
ada bukti. Dan sialnya lagi, peritiwa kehilangan bukan hanya aku yang
mengalami, karena sebelum atau setelah kejadian itu pun di rumah itu sering
terjadi kehilangan uang. Bahkan, juga dialami oleh teman yang aku tidur di
kamarnya saat kami melakukan Mabit.
Butuh waktu untuk ikhlas?
Iya.
Terlebih aku merasa dipermainkan saat harus mengurus
ulang ATM BNI yang berfungsi ganda sebagai KTM. Karena harus membuat surat
keterangan dari polisi, dan surat pernyataan dari bagian akademik kampus. Yang
sialnya ketika kembali ke pihak Bank, surat keterangan dari polisi itu tidak
diperiksa sama sekali, bahkan dianggap tidak mesti ada oleh pihak bank. Karena
itu aku memutuskan untuk tidak mengaktifkan dua ATM lainnya. Walaupun terobati
dengan pelayanan pihak Bank Sumut Syariah, tempat uang pribadiku.
Surat-surat lain yang mesti kuurus tentunya e-KTP.
Setelah membuat surat keterangan dari kepolisian, pihak Capil yang mengurusi itu
memberikan wejangan yang kutanggapi dengan senyuman. “Di kabupaten kita ini, inang, baru 2 kecamatan yang dapat
e-KTP. Sisanya belum siap, bahkan ada yang belum diambil datanya. Kau udah
hilang pulak. Nantilah 2015 datang lagi, baru bisa diurus ulang. Untuk
sementara minta aja KTP yang lama ke kepala desa, pakek aja dulu itu.”
Begitulah, akhirnya KTM selesai, ATM tempat uang pribadi
juga sudah siap, dan KTP menggunakan KTP lama. Uang Kas yang di dalam dompet,
pelan-pelan terganti dengan honor mengajar di Bimbel. Yah, aku jauh lebih
ikhlas menerima ini ketimbang sebelumnya meski harus mengurus beberapa surat
dan mengganti uang di dalamnya. Tapi, tampaknya peristiwa itu belum selesai.
Setelah aku benar-benar lupa dengan peristiwa itu.
Akhirnya, pada 7 Februari 2017, dua hari
sebelum gelar Sarjana boleh di sematkan di belakang namaku. Hawa kejahatan
penemu dompet itu kembali terkuak. Meski aku baru menyadarinya setelah 12 hari
kemudian, tepat di tanggal 20.
Pasalnya, ada kabar angin yang menyatakan bahwa
pendaftaran wisuda akan diperpanjang sampai tanggal 9 Februari untuk periode
ke-3. Artinya, untuk kami yang akan sidang meja hijau pada tanggal yang sama
ada kemungkinan masih terbuka peluang untuk ikut wisuda. Jadilah, aku yang saat
itu belum mengurus surat bebas perpus, sembari menyebar undangan sidang pada
beberapa dosen yang bertindak sebagai penguji menyempatkan diri berkunjung ke
Perpustakaan Fakultas, setelah sebelumnya mengembalikan tiga buku yang belum
dikembalikan di perpustakaan utama kampus.
Tapi apa yang terjadi? kakak penjaga perpustakaan
menyatakan bahwa ada dua buku yang belum kukembalikan. Sontak aku terkejut.
Sebab, 13 semester di kampus, setidaknya aku hanya mengunjungi tempat itu
paling banyak tiga kali, itupun di semester awal kuliah. Dan aku sangat yakin
kalau aku tidak pernah meminjam buku di tempat itu, sebab sampai sekarang pun
aku tidak tahu prosedur meminjam buku di situ. Penyebabnya, karena aku tidak
menemukan buku yag kucari di tempat itu.
Yah, sebenarnya aku memang tidak berambisi untuk wisuda
lebih cepat, tapi setelah mendapat kabar tentang buku yang dipinjam, aku pun
merepotkan adikku untuk mencari buku itu di pasar buku dan toko buku. Satu buku
akhirnya ditemukan, tapi untuk satu bukunya lagi belum. Aku sudah mengusahakan,
tapi Allah pun pasti lebih tahu bahwa apa yang kurencanakan di awal jauh lebih
baik. Maka aku cepat untuk ikhlas, kalau aku tidak perlu mengambil peluang
daftar wisuda di periode ini.
Malam setelah aku dinobatkan sebagai sarjana, kupandangi
buku itu. Aku sama sekali tidak pernah melihat buku itu sebelumnya. Buku dengan
judul Fisika Modern. Mata kuliah Fisika Modernku sempat mendapat nilai D, lalu
berganti menjadi B+ setelah kuulang di tahun berikutnya dengan dosen yang
berbeda. Aku pun tidak perlu buku pengantar untuk kuliah, karena dosen yang
bersangkutan menyediakan slide dan bahan ajar yang dibuat sendiri.
Untuk referensi lab? Sama sekali tidak mungkin, karena
sebelum lab dimulai aku sudah memiliki semua referensi untuk judul-judul
praktikum, dari informasi senior dan buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan
pusat maupun teman. Dan lab-ku, percaya atau tidak, aku mendapat nilai A,
dengan frekuensi pemulangan dari asisten lab sebanyak tiga kali karena tidak
memenuhi syarat awal untuk praktikum. Lagi pula, Fisika modern baru dipelajari
di semester 3, sedang aku berkunjung ke perpustakaan itu di semester 1.
Benar-benar aneh. Aku sempat berfikiran; Kalau pihak
kampus mengharuskan menyumbangkan buku ke perpustakaan sebelum tamat, pasti
mahasiswa jauh lebih ikhlas ketimbang dinyatakan belum mengembalikan buku;
padahal buku itu tidak pernah dipinjam, tapi mau tak mau harus dikembalikan
dengan cara apapun dan membayar denda pula. Prasangka-prasangka mengisi relung
jiwaku. Aku tak mungkin meminjamkan KTM pada siapapun, sebab sebelumnya selalu
diisi oleh uang Kas. Terlebih aku tidak mengenal buku itu sebelumnya.
Barulah pada senin berikutnya, tanggal 20. Aku mulai
tertarik membuka buku itu. Membaca profil penulisnya. Lalu larut dengan isinya
sepanjang jeda antara zuhur hingga ashar. Tiba-tiba saja, tepat saat bilal
mengumandangkan azan penanda ashar di mesjid. Aku teringat perihal KTM-ku yang
pernah hilang. Allah, aku telah lupa. Aku yakin aku telah ikhlas dengan akibat
yang kutanggung akibat kejadian itu. Bahkan, saat ATM tempat uang pribadiku
terblokir akibat kesalahan kecil yang kubuat, dan pihak bank menyatakan aku
belum bisa melakukan pengaktifan kembali karena ternyata KTP lamaku telah mati
setahun sebelumnya. Aku sama sekali tidak terganggu perihal kehilangan dompet
itu. Tapi hari itu, aku harus mengulur benang yang telah kusimpul. Sebab,
satu-satunya kemungkinan pelaku peminjam buku itu adalah orang yang menemukan
KTM-ku. Iya, kan?
Sedekah
dan Ikhlas
Aku adalah orang yang percaya dengan kekuatan sedekah.
Meski tak punya uang, kita tetap bisa menyedekahkan senyuman, tenaga, waktu
luang bahkan ide. Setiap orang yang berniat sedekah pasti tidak ada penyesalan
dihatinya. Baik ketika ia menyedekahkan recehan pada pengamen saat terjebak
lampu merah, bahkan berlembar-lembar uang seratusan ribu untuk kepentingan
dakwah. Tidak ada yang menyesali. Tidak ada yang merasa kehilangan. Seperti
itulah aku mendefinisikan ikhlas.
Kita
telah kehilangan sesuatu, tapi kita bisa dengan mudah melupakannya. Bahkan
bukan karena iming-iming kebaikan yang dijanjikannya. Kita melupakan sedekah
kita bukan karena janji kebaikan berlipat ganda dari Allah setelahnya. Bahkan
bukan pula karena meyakini efek kebahagiaan yang ditimbulkan setelahnya. Tapi
karena kita ingin secara spontan untuk mengulurkan tangan dan spontan pula melupakan
bahwa tangan kita pernah terulur.
Bisakah
hal seperti ini diukur?
Setelah
diawal kunyatakan aku tidak yakin, aku ingin mengakhiri tulisan dengan sebuah
kesimpulan yang berbeda. Bahwa ikhlas pun bisa diukur.
Kadar
keikhlasan dapat diukur dengan parameter di atas, dengan sebuah hasil, sejauh
mana kita bisa melupakannya tanpa iming-iming apapun. Bahkan melupakan, saat
kita dituntut harus mengorbankan sesuatu yang kita rasa sulit.
diambil beberapa saat setelah upacara wisudaku selesai
Dari
penjabaran di atas, dapat disimpulkan pula, bahwa sedekah adalah parameter
terbaik untuk menghidupkan keikhlasan. Maka sedekahkan apa saja untuk alasan
kebaikan. Sebagai pemberat amal di Yaumil Hisab kelak. Sebab, jika menggunakan
parameter kehilangan, aku sendiri tidak yakin dengan dua peristiwa di atas aku
telah benar-benar ikhlas. Meski terbilang telah lama, aku masih mengingatnya
hingga sekarang. Aku telah berkorban, tapi rupanya aku belum benar-benar
menyedekahkan pengorbananku, sehingga rasa kesal, bahkan dendam itu,
lamat-lamat masih menyisakan rasa sakit yang berkepanjangan.
Satu
lagi yang harus digarisbawahi, Fisika tidak bisa mengukur kadar keikhlasan.
Sebab Fisika menyatakan hasil pengukurannya dengan angka-angka. Dan ikhlas,
tidak bisa dinyatakan dengan angka. Sebab, dia ibarat penyakit hati; dimana
hanya Allah dan diri pelakunyalah yang tahu.
Jadi nah? Benar nya itu kawan sekamar mu yang ambil?
BalasHapusJadi nah? Benar nya itu kawan sekamar mu yang ambil?
BalasHapus