Minggu, 04 Juni 2017

Mengukur Ikhlas


Mengukur Keikhlasan
Oleh: Ana Nasir

Seperti kalimat tanya pembuka yang sering kuajukan ke siswa saat mengajar, ku mulai tulisan ini dengan pertanyaan yang sama.
Apa itu Fisika?

Dan seperti pengertian singkat yang sering kuucapkan setelah mendengar jawaban tidak tahu, gelengan kepala, atau definisi yang tertulis di buku-buku sekolah mereka; kali ini pun aku akan menjawab pertanyaan tersebut dengan dua kata; Ilmu Ukur. Yah, bahwa Fisika adalah ilmu ukur.
Selanjutnya, seperti keterangan yang sering kujabarkan setelah melihat wajah-wajah penuh tanya dari para siswa. Bahwa, di Fisika semua bisa diukur. Mulai dari yang penting sampai yang kelihatannya tidak penting. Mulai dari yang terlihat sampai yang tak terlihat. Penting; ketika mengukur massa benda, suhu benda, dan seterusnya. Kelihatan tidak penting; saat mengukur kecepatan dari mobil yang tabrakan. Terlihat; saat kita mengukur panjang, kecepatan benda bergerak dan seterusnya. Tidak tampak; saat mengukur kecepatan cahaya, panjang gelombang bunyi dan seterusnya.
Lalu ikhlas, bisakah Fisika mengukur ikhlas?
Bahkan 13 semester menyelesaikan studi sarjanaku di Fisika, akupun tak yakin, ilmu yang disebut-sebut sebagai “The King of Knowledge” ini bisa mengukur “Ikhlas”. Sejauh ini aku masih meyakini bahwa ikhlas itu tetap seperti surah ke-112 di Al-Qur’an; menjadi nama, tapi tak satu kalimat pun menyebutkannya.
Antara Kehilangan dan Sedekah
Adakah insan di dunia ini yang tak pernah mengalami kehilangan? Ku rasa tidak ada. Baik itu kehilangan benda, atau bahkan orang yang dicintai. Pasti pernah, meskipun yang hilang itu sesuatu yang dianggap tidak terlalu berharga. Kehilangan dan Sedekah, adalah dua parameter yang akan kugunakan untuk mengukur kadar keikhlasan. Selanjutnya, sampel yang akan menjelasakan detail kedua parameter ini adalah peristiwa yang kualami sendiri. Jika terkesan seperti curhatan pribadi, maka tolong maafkan kedhoifanku, namun sesungguhnya aku ingin setiap pembaca mengambil pelajaran dari penjabaran ini.
            Sampel pertama adalah dompet, dan sampel kedua kembali dompet. Meski kedengarannya sama, tapi zhohirnya kedua benda ini adalah berbeda. Baik bentuk fisik, maupun isi.
1.      Dompet Pertama        
Hari itu baru-baru saja aku pindah ke sebuah kamar di Asrama putri Kampus USU. Pertengahan tahun 2012, atau awal memasuki semester 5 di kampus. Bisa jadi karena aku terbiasa tinggal dengan orang-orang dan lingkungan yang aman dan terpercaya, maka kebiasaan meletakkan barang-barang penting di tempat yang terkesan terbuka itu masih terbawa. Termasuk meletakkan dompet di bagian atas rak buku.
            Dompet itu berisi sejumlah uang, cukup banyak untuk ukuran mahasiswa waktu itu. Sebab bisa dipergunakan untuk melunasi satu bulan cateringanku, waktu itu. Tapi bukan uangnya yang terpenting, di dalam dompet itu ada selembar kertas kuitansi, dimana kertas kuitansi itu adalah syarat utama yang harus dibawa satu-satunya adik perempuanku saat daftar ulang di kampus-nya.
            Hari dimana kusadari dompet itu hilang adalah hari yang sangat sibuk. Sibuk dengan merapikan barang-barangku di kamar, sibuk dengan mensukseskan program di organisasi kampus, dan ditambah memenuhi undangan salah seorang kakak, undangan syukuran atas wisudanya. Sampai-sampai aku terlupa, bahwa adikku yang waktu itu masih berada di kampung, akan segera kembali ke Medan untuk daftar ulang.
            Bisa dikatakan waktu yang tersisa masih sangat lama, karena masih ada sekitar 1 minggu lagi. Jeda waktu itu kumanfaatkan untuk mengingat-ingat tempat-tempat mana saja yang kukunjungi sebelum sadar dompet itu hilang. Walaupun aku sangat yakin, bahwa benda itu aku letakkan di atas rak buku saat merapikan kamar. Karena memang biasanya begitu. Biasa meninggalkan dompet di atas rak, dan tidak membawa ke kampus atau kemanapun. Dengan alasan, aku seseorang yang teledor, dan lupa diri jika membawa uang lebih.
            Sialnya, satu-satunya tempat yang kuingat dan curigai adalah rumah kakak yang kami datangi saat memenuhi undangan syukuran wisudanya. Di sana kami makan, dan menumpang shalat di kamarnya karena sudah masuk waktu ashar. Dan, karena pentingnya selembar kertas di dalamnya itu, aku mengabaikan kekuatan ingatanku; bahwa dompet itu kutinggalkan di kamar, dan tidak ada di dalam tasku saat kami ke sana. Aku kembali ke sana, yang akhirnya menyisakan kesan sangat tidak enak hingga hari ini, bahkan meski aku telah minta maaf dan dimaafkan, karena kedatangan kami yang diiringi selidik dan kecurigaan itu.
            Empat semester sebelumnya, aku sudah 3 kali kehilangan HP. Sampai-sampai sudah menjadi rutinitas yang cukup mudah untuk dilupakan. Tapi kehilangan dompet dengan selembar kuitansi di dalamnya cukup membuatku trauma berkepanjangan. Bagaimana tidak, karena kejadian itu, orang tuaku sempat meminta petunjuk kepada sepupunya yang mempunyai kemampuan gaib dalam hal demikian. Sialnya lagi, bisa jadi karena rasa bersalahku kepada adikku, aku hampir mempercayai petunjuk itu. Bahwa dompet itu hilang di kamarku, dan diambil oleh kawanku yang tinggal di sekitaran asrama itu juga. Dan dalam waktu dekat akan dikembalikan.
            Bagaimana bisa dipercaya, jika teman sekamarku adalah kawan dekatku sejak mulai masuk di kampus, orang yang hampir senantiasa bersamaku; bersamaku saat mensukseskan program dari organisasi yang sama-sama kami ikuti sebelum kejadian, dan orang yang bersamaku saat undangan dan kembali ke tempat undangan itu lagi. Dan, orang tuaku menaruh kecurigaan besar pada dia. Jadi, aku ada di posisi rasa bersalah pada adikku dan bersalah yang berkepanjangan jika sampai adikku tidak jadi kuliah karena selembar kertas itu. Dan selain itu aku juga harus meyakinkan orang tuaku, bahwa bagaimanapun tidak mungkin pelakunya adalah orang yang mereka curigai itu.
            Memang, akhirnya kejadian itu terselesaikan. Adikku kembali ke Medan lebih awal. Meminta bantuan ke calon senior di kampusnya perihal kuitansi yang hilang itu. Tapi aku, aku terpaksa kembali menggagalkan 1 lab yang tahun sebelumnya gagal, dan 1 lab yang menjadi mata kuliah wajibku di semester itu. Yah, aktifitas praktikum di lab memang cukup menguras tenaga, fikiran dan kantong, meski bebannya hanya 1 SKS. Kondisi kesehatanku tidak siap untuk mengahadapi 3 lab sekaligus pada saat itu.
            Setelah beberapa hari sakit, orang tua memintaku pulang, yang akhirnya aku dilarang memakan daging selama 1 tahun, padahal waktu itu sudah mendekati Idul Adha. Dilarang minum susu sapi, karena kandungan asam didalamnya yang tidak sanggup lagi bereaksi dengan asam di lambungku, padahal aku sangat ketergantungan dengan susu. Dan buah-buahan yang memiliki kandungan asam berlebih. Yah, beban stress juga faktor utama penyebab magh, dan aku harus berhati-hati atas penyakit lain yang pernah kuidap sebelumnya.
            Lalu, apakah kejadian ini sudah benar-benar selesai? Ternyata tidak, ketika rasa ikhlas itu sudah mulai dapat kurajut perlahan. Ada peristiwa lain yang terkesan ganjil. Hari itu, aku dan adikku akan berkunjung ke rumah kerabat dekat. Sebelum keberangkatan kami, aku memilih salah satu baju yang akan kukenakan, namun karena beberapa pertimbangan aku tidak jadi mengenakannya. Dan entah kenapa, kebiasaan orang yang mengambil baju, lalu mengembalikannya lagi pasti meletakkannya di bagian atas, tapi kali itu tidak. Aku mengembalikan baju yang tidak jadi dikenakan itu ke tempat semula; di bagian pertengahan susunan baju.
            Kejadian ganjil itu pun ternyata menjadi petunjuk aneh, yang membuatku masih bergidik setiap mengingatnya. Sepulang dari kunjungan ke rumah kerabat itu, teman sekamarku memberi kabar kalau ia tidak pulang karena akan menghadiri undangan walimah di Lima Puluh. Adikku menyusun beberapa pakaian yang baru saja di setrikanya ke lemariku, malam itu. Dialah orang pertama yang bergidik saat melihat di atas lipatan baju yang tidak jadi kukenakan sebelumnya, dompet yang beberapa waktu sebelumnya membuat geger.
            “Kak, sinilah cepat!” teriaknya yang membuatku hampir melompat dari tempat dudukku karena teriakannya itu. Aku cuma bisa menangis karena gemetar dan ngeri melihat benda itu terletak di antara lipatan baju. Sangat ngeri, karena sebelumnya aku telah mengambil baju itu dari lemari, lalu mengembalikannya ke tempat semula; ke bagian tengah susunan baju; dan saat itu kulihat dompet putih berisi beberapa lembar uang, beberapa foto teman SMA dan secarik kertas yang jauh lebih berharga dari uang itu terletak di sana.
            Setelah menenangkan diri, kuambil dompet itu dan kupandangi beberapa waktu. Meski seringkali dianggap teledor, sebenarnya aku orang yang sangat ingat detail-detail barang-barang pribadiku. Ketika akhirnya aku punya kekuatan untuk membukanya, aku tahu, meski jumlah uang, dan isinya yang lain tetap, tapi susunan lembaran uangnya berubah. Aku yakin. Dompet itu kembali, setelah dipinjam beberapa waktu oleh orang yang tak tahu siapa. Dan aku kembali butuh beberapa waktu untuk mengkondisikan jiwaku, melupakan, untuk bisa kembali merajut ikhlas.
2.      Dompet Kedua
Meski kejadiannya lebih baru dari kejadian pertama, aku hampir tidak bisa memperkirakan waktunya. Tapi pas kejadian hilangnya dompet itu, sebelumnya juga hari yang sangat sibuk. Aku baru menghadiri rapat di Mesjid Kampus untuk suksesi salah satu program dari organisasi yang aku turut bertanggungjawab di dalamnya. Kembali ke Fakultas untuk kepentingan kuliah, dan menghadiri rapat juga untuk agenda dari organisasi yang di Fakultas. Selepas dari situ aku bergerak ke salah satu rumah, untuk mengikuti agenda Mabit malamnya.
Sesampainya di sana, aku masuk ke kamar teman yang tinggal di rumah itu, bersih-bersih, dan meletakkan sembarang tasku. Sesampainya di sana, aku tidak yakin apakah malam itu dompetku masih di dalam tas, atau sudah tidak ada. Tapi aku baru sadar dompet itu tidak ada setelah aku sampai ke kamarku keesokan harinya.
Apa isi dompet itu?
Entah karena masih trauma dengan peristiwa pertama, aku akhirnya memang memutuskan untuk membawa dompetku kemanapun. Terlebih saat itu aku baru dapat dua amanah sebagai bendahara. Di dalam dompet itu terdapat 4 buah ATM. ATM Bank Sumut Syariah, yang kudapat dari beasiswa yang pernah kudapat sebelumnya, biasanya digunakan untuk mentransfer beasiswa bulanan dari kampung juga. Artinya ATM ini tempat uang pribadiku. ATM BRI Syariah, yang baru saja kubuat untuk salah satu keperluan dan karena peristiwa itu keperluan yang kurencanakan jangka panjang itu tidak jadi berjalan. ATM BTN, yang sebelumnya sengaja dibuka untuk syarat pengajuan beasiswa, karena gagal mendapatkan beasiswanya, ATM ini hampir tidak dipergunakan sama sekali, walaupun aku merencanakan sesuatu juga untuk pemanfaatannya. Dan ATM BNI, sekaligus sebagai KTM, di dalamnya terdapat uang Kas dari salah satu organisasi yang aku baru saja bertanggungjawab sebagai bendahara.
Selain 4 ATM itu, di dalamnya juga ada e-KTP yang baru saja dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dan sejumlah uang, yang nominalnya jauh lebih banyak dari dompet pertama. Namun sialnya uang itu bukan uang pribadi, melainkan uang Kas dari kelompok Pengajian mingguanku. Sebenarnya secara fisik, isi dompet ini jauh lebih banyak dari dompet sebelumnya. Tapi berhubung sudah memiliki pengalaman sebelumnya, secara psikologis aku jauh lebih siap menerima peristiwa ini. Walaupun, meski telah dilarang, orang tuaku tetap meminta petunjuk dari sepupunya itu.
Orang tuaku mengabarkan kalau dompet itu diambil oleh seseorang yang beralamat asal di Sibolga. Tapi tidak dijelaskan dimana tempat hilangnya. Apakah di Mesjid Kampus, atau beberapa tempat yang kukunjungi di Fakultas, atau di rumah tempat kami Mabit. Tapi yang kuingat, orang tuaku cuma bertanya, “Na, coba tanya sama kawanmu yang tinggal di rumah tempat kalian nginap itu, ada enggak orang Sibolga tinggal di rumah itu?”
Konyolnya, di rumah itu ada anak yang berasal dari Sibolga, meski secara lahir kita tidak bisa mencurigai beliau, terlebih tidak ada bukti. Dan sialnya lagi, peritiwa kehilangan bukan hanya aku yang mengalami, karena sebelum atau setelah kejadian itu pun di rumah itu sering terjadi kehilangan uang. Bahkan, juga dialami oleh teman yang aku tidur di kamarnya saat kami melakukan Mabit.
Butuh waktu untuk ikhlas?
Iya.
Terlebih aku merasa dipermainkan saat harus mengurus ulang ATM BNI yang berfungsi ganda sebagai KTM. Karena harus membuat surat keterangan dari polisi, dan surat pernyataan dari bagian akademik kampus. Yang sialnya ketika kembali ke pihak Bank, surat keterangan dari polisi itu tidak diperiksa sama sekali, bahkan dianggap tidak mesti ada oleh pihak bank. Karena itu aku memutuskan untuk tidak mengaktifkan dua ATM lainnya. Walaupun terobati dengan pelayanan pihak Bank Sumut Syariah, tempat uang pribadiku.
Surat-surat lain yang mesti kuurus tentunya e-KTP. Setelah membuat surat keterangan dari kepolisian, pihak Capil yang mengurusi itu memberikan wejangan yang kutanggapi dengan senyuman. “Di kabupaten kita ini, inang, baru 2 kecamatan yang dapat e-KTP. Sisanya belum siap, bahkan ada yang belum diambil datanya. Kau udah hilang pulak. Nantilah 2015 datang lagi, baru bisa diurus ulang. Untuk sementara minta aja KTP yang lama ke kepala desa, pakek aja dulu itu.”
Begitulah, akhirnya KTM selesai, ATM tempat uang pribadi juga sudah siap, dan KTP menggunakan KTP lama. Uang Kas yang di dalam dompet, pelan-pelan terganti dengan honor mengajar di Bimbel. Yah, aku jauh lebih ikhlas menerima ini ketimbang sebelumnya meski harus mengurus beberapa surat dan mengganti uang di dalamnya. Tapi, tampaknya peristiwa itu belum selesai.
Setelah aku benar-benar lupa dengan peristiwa itu. Akhirnya, pada 7 Februari 2017,  dua hari sebelum gelar Sarjana boleh di sematkan di belakang namaku. Hawa kejahatan penemu dompet itu kembali terkuak. Meski aku baru menyadarinya setelah 12 hari kemudian, tepat di tanggal 20.
Pasalnya, ada kabar angin yang menyatakan bahwa pendaftaran wisuda akan diperpanjang sampai tanggal 9 Februari untuk periode ke-3. Artinya, untuk kami yang akan sidang meja hijau pada tanggal yang sama ada kemungkinan masih terbuka peluang untuk ikut wisuda. Jadilah, aku yang saat itu belum mengurus surat bebas perpus, sembari menyebar undangan sidang pada beberapa dosen yang bertindak sebagai penguji menyempatkan diri berkunjung ke Perpustakaan Fakultas, setelah sebelumnya mengembalikan tiga buku yang belum dikembalikan di perpustakaan utama kampus.
Tapi apa yang terjadi? kakak penjaga perpustakaan menyatakan bahwa ada dua buku yang belum kukembalikan. Sontak aku terkejut. Sebab, 13 semester di kampus, setidaknya aku hanya mengunjungi tempat itu paling banyak tiga kali, itupun di semester awal kuliah. Dan aku sangat yakin kalau aku tidak pernah meminjam buku di tempat itu, sebab sampai sekarang pun aku tidak tahu prosedur meminjam buku di situ. Penyebabnya, karena aku tidak menemukan buku yag kucari di tempat itu.
Yah, sebenarnya aku memang tidak berambisi untuk wisuda lebih cepat, tapi setelah mendapat kabar tentang buku yang dipinjam, aku pun merepotkan adikku untuk mencari buku itu di pasar buku dan toko buku. Satu buku akhirnya ditemukan, tapi untuk satu bukunya lagi belum. Aku sudah mengusahakan, tapi Allah pun pasti lebih tahu bahwa apa yang kurencanakan di awal jauh lebih baik. Maka aku cepat untuk ikhlas, kalau aku tidak perlu mengambil peluang daftar wisuda di periode ini.
Malam setelah aku dinobatkan sebagai sarjana, kupandangi buku itu. Aku sama sekali tidak pernah melihat buku itu sebelumnya. Buku dengan judul Fisika Modern. Mata kuliah Fisika Modernku sempat mendapat nilai D, lalu berganti menjadi B+ setelah kuulang di tahun berikutnya dengan dosen yang berbeda. Aku pun tidak perlu buku pengantar untuk kuliah, karena dosen yang bersangkutan menyediakan slide dan bahan ajar yang dibuat sendiri.
Untuk referensi lab? Sama sekali tidak mungkin, karena sebelum lab dimulai aku sudah memiliki semua referensi untuk judul-judul praktikum, dari informasi senior dan buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan pusat maupun teman. Dan lab-ku, percaya atau tidak, aku mendapat nilai A, dengan frekuensi pemulangan dari asisten lab sebanyak tiga kali karena tidak memenuhi syarat awal untuk praktikum. Lagi pula, Fisika modern baru dipelajari di semester 3, sedang aku berkunjung ke perpustakaan itu di semester 1.
Benar-benar aneh. Aku sempat berfikiran; Kalau pihak kampus mengharuskan menyumbangkan buku ke perpustakaan sebelum tamat, pasti mahasiswa jauh lebih ikhlas ketimbang dinyatakan belum mengembalikan buku; padahal buku itu tidak pernah dipinjam, tapi mau tak mau harus dikembalikan dengan cara apapun dan membayar denda pula. Prasangka-prasangka mengisi relung jiwaku. Aku tak mungkin meminjamkan KTM pada siapapun, sebab sebelumnya selalu diisi oleh uang Kas. Terlebih aku tidak mengenal buku itu sebelumnya.
Barulah pada senin berikutnya, tanggal 20. Aku mulai tertarik membuka buku itu. Membaca profil penulisnya. Lalu larut dengan isinya sepanjang jeda antara zuhur hingga ashar. Tiba-tiba saja, tepat saat bilal mengumandangkan azan penanda ashar di mesjid. Aku teringat perihal KTM-ku yang pernah hilang. Allah, aku telah lupa. Aku yakin aku telah ikhlas dengan akibat yang kutanggung akibat kejadian itu. Bahkan, saat ATM tempat uang pribadiku terblokir akibat kesalahan kecil yang kubuat, dan pihak bank menyatakan aku belum bisa melakukan pengaktifan kembali karena ternyata KTP lamaku telah mati setahun sebelumnya. Aku sama sekali tidak terganggu perihal kehilangan dompet itu. Tapi hari itu, aku harus mengulur benang yang telah kusimpul. Sebab, satu-satunya kemungkinan pelaku peminjam buku itu adalah orang yang menemukan KTM-ku. Iya, kan?
Sedekah dan Ikhlas
Aku adalah orang yang percaya dengan kekuatan sedekah. Meski tak punya uang, kita tetap bisa menyedekahkan senyuman, tenaga, waktu luang bahkan ide. Setiap orang yang berniat sedekah pasti tidak ada penyesalan dihatinya. Baik ketika ia menyedekahkan recehan pada pengamen saat terjebak lampu merah, bahkan berlembar-lembar uang seratusan ribu untuk kepentingan dakwah. Tidak ada yang menyesali. Tidak ada yang merasa kehilangan. Seperti itulah aku mendefinisikan ikhlas.
            Kita telah kehilangan sesuatu, tapi kita bisa dengan mudah melupakannya. Bahkan bukan karena iming-iming kebaikan yang dijanjikannya. Kita melupakan sedekah kita bukan karena janji kebaikan berlipat ganda dari Allah setelahnya. Bahkan bukan pula karena meyakini efek kebahagiaan yang ditimbulkan setelahnya. Tapi karena kita ingin secara spontan untuk mengulurkan tangan dan spontan pula melupakan bahwa tangan kita pernah terulur.
            Bisakah hal seperti ini diukur?
            Setelah diawal kunyatakan aku tidak yakin, aku ingin mengakhiri tulisan dengan sebuah kesimpulan yang berbeda. Bahwa ikhlas pun bisa diukur.
            Kadar keikhlasan dapat diukur dengan parameter di atas, dengan sebuah hasil, sejauh mana kita bisa melupakannya tanpa iming-iming apapun. Bahkan melupakan, saat kita dituntut harus mengorbankan sesuatu yang kita rasa sulit.

diambil beberapa saat setelah upacara wisudaku selesai

            Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan pula, bahwa sedekah adalah parameter terbaik untuk menghidupkan keikhlasan. Maka sedekahkan apa saja untuk alasan kebaikan. Sebagai pemberat amal di Yaumil Hisab kelak. Sebab, jika menggunakan parameter kehilangan, aku sendiri tidak yakin dengan dua peristiwa di atas aku telah benar-benar ikhlas. Meski terbilang telah lama, aku masih mengingatnya hingga sekarang. Aku telah berkorban, tapi rupanya aku belum benar-benar menyedekahkan pengorbananku, sehingga rasa kesal, bahkan dendam itu, lamat-lamat masih menyisakan rasa sakit yang berkepanjangan.
            Satu lagi yang harus digarisbawahi, Fisika tidak bisa mengukur kadar keikhlasan. Sebab Fisika menyatakan hasil pengukurannya dengan angka-angka. Dan ikhlas, tidak bisa dinyatakan dengan angka. Sebab, dia ibarat penyakit hati; dimana hanya Allah dan diri pelakunyalah yang tahu.

Allahua’lam bish shawab

2 komentar:

  1. Jadi nah? Benar nya itu kawan sekamar mu yang ambil?

    BalasHapus
  2. Jadi nah? Benar nya itu kawan sekamar mu yang ambil?

    BalasHapus