Tentang Sebuah Cita-cita
6 hari sejak usiaku
genap 27 tahun. Siapa sangka, aku yang sejak pertama kali kuliah udah kodein
orang tua agar dapat izin untuk menikah muda, hingga hari ini masih sendiri.
Yah, masih ada alasan tak terungkap yang mengganjal untuk mempercayakan surgaku
yang selama ini terletak di bawah kedua kaki mama, berpindah pada laki-laki
asing itu.
Jika boleh mengungkap
permohonan, maka aku tetap ingin diberikan bahu yang kuat, kesabaran yang
senantiasa bisa dikendalikan dan lisan yang terjaga dari ha-hal yang buruk.
Tersebab setahun sebelumnya adalah masa-masa terberat yang pernah kualami
sepanjang hidupku. Dan pasti, jika berpedoman pada pertumbuhan sebatang pohon,
aku akan bertemu dengan terpaan angin yang lebih dahsyat lagi.
` Getar-getir pengalaman
kerja selama 1 semester yang berujung pada sebuah kalimat yang membuat bibir
tersenyum tapi hati bergejolak. Sampai akhirnya aku mempelajari hikmah
kesempatan membersamai ayah di hari-hari terakhirnya. Tapi sakit yang
sebenarnya bukan saat harus mengikhlaskan kepergian ayah kembali pada Rabbnya,
melainkan saat harus meninggalkan mama seorang diri bertemankan dengan kenangan-kenangannya
selama 27 tahun lebih bersama sang belahan jiwa.
Aku si putri sulung
yang begitu mengidolakan ayahnya. Sampai-sampai dulu sekali, jauh sebelum aku
mencapai usia baligh, aku berkeinginan agar dipertemukan dengan laki-laki yang
persis seperti ayah. Berat untuk seorang anak yang mewarisi, bukan, bahkan aku
berusaha sepanjang aku bersama ayah untuk menyamai semua kepribadiannya.
Caranya menyelesaikan masalah, marah, makanan kesukaan, hobby, sampai ekspresi
melepas rindu. Aku adalah putri pengganti nama panggilannya yang seperti Aisyah
ra berkomentar pada Fatimah binti Rasulullah saw. “Ia sama persis seperti
abinya.” Bahkan aku membaca isi benaknya hanya lewat sorot matanya.
“Aku seringkali
dimimpiin ayah,” ceritaku pada satu-satunya saudara laki-lakiku yang sekarang
perwalianku ada di pundaknya. Jawaban yang kudapat, “Kak, jangan beratkan ayah cuma
karena kakak belum ikhlas.”
Yah, Fatimah pun
menangis saat Rasulullah mengabarkan bahwa ia akan bertemu Rabb-nya dalam waktu
dekat. Ia baru bisa tersenyum saat Rasulullah menghiburnya dengan kalimat, “Dan
aku melihat, di antara keturunanku, kaulah yang menyusulku lebih awal.”
Aku. Ayah tak memberi
pesan yang sama. Karena ayahku yang begitu hebat itu sangat jauh sekali dari rasulullah
saw. Sampai akhirnya aku ikhlas, dalam arti aku melupakan ketidakberadaannya di
sisiku sekarang, aku menganggap ia masih ada di rumah bersama mama. Kapanpun
aku pulang, ia adalah orang pertama yang menyambutku di depan pintu dengan
sorot mata kerinduannya, seperti biasa. Aku harus dihadapkan pada sebuah
kenyataan lain.
Kenyataan bahwa adik
perempuanku harus melepas masa kesendiriannya dan secepatnya bersiap menjalani
hidup dengan keluarga barunya. Hari itu, ternyata adalah hari yang lebih berat
lagi. Bahkan lebih menyakitkan dibandingkan aku melihat sendiri ayah melepas
nafasnya yang terakhir dan kembali pada Rabb-nya. Jauh lebih berat dibanding saat
aku harus meninggalkan mama sendiri dengan bayangan kenangan-kenangan kebersamaannya
dengan ayah. Sampai-sampai lisanku kaku, kakiku melangkah tapi tak menyadari
arah langkah kakinya.
Begitu teganya dia
menghancurkan kepercayaanku, melukai perasaan mama yang masih dirundung duka.
Ah, bahkan kukatakan, “Adikku ini bandal, bahkan paling bandal di rumah, tapi
tak pernah sekalipun aku tahu dia berani membuat jelek nama keluarga ketika dia
bersama orang lain. Sampai-sampai tidak ada yang percaya kalau kukatakan dia
bandal. Karena satu-satunya yang tau kenalakannya cuma kami serumah, bahkan
keluarga dekat sekalipun tidak akan percaya. Bahkan, sampai kudengar tadi di perutnya
ada detak jantung bayi, aku masih tidak percaya, karena seberapa kuat kami
memaksa dia tidak pernah mengakuinya.”
Detik itu. Detik saat
laki-laki yang sekarang merebut adik perempuan kesayanganku mengakui
perbuatannya adalah detik mengerikan yang pernah kualami sepanjang perjalanan
hidupku. Sungguh, pikiranku langsung teringat pada saat aku meminta izin pada
ayah untuk pulang ke Medan waktu itu, “Ayah, Ana balik ke Medan dulu ya. Ana
masih ada jadwal ngajar minggu ini. Ana janji sabtu pagi Ana udah nyampek rumah
lagi. Sampai akhir bulan adek Evi janji akan berhenti kerja dan pulang untuk
jagain Ayah.”
Yah. Mulanya kupikir
hari itu adalah hari terberat bagiku, karena untuk pertama kalinya aku melihat
Ayah memalingkan wajahnya dariku. Kupikir Ayah tidak mengijinkan aku
meninggalkannya. Tapi setelah kejadian malam itu, aku teringat. Ayah
memalingkan wajahnya tepat saat aku menyebutkan sebuah nama. Allah...
Impianku sederhana.
Aku tetap ingin menjadi putri ayah dan mama, kakak dari sepasang adikku sampai
ke surga. Tapi hari itu, Ayah yang berpulang dengan meninggalkan kesan baik
dari penuturan setiap orang yang mengenalnya. Bahkan kabar tentang bau harum
yang keluar dari tanah kuburannya selama tiga malam pertama jasadnya berpindah
ke asalnya. Tiba-tiba kurasakan malaikat sedang mencambuknya tersebab dosa oleh
putri yang pernah diamanahkan dalam penjagaannya. Doa anak yang sholeh sebagai
penolongnya telah tidak sempurna. Jalan pintas bagi kedua orang tua yang mendidik
kedua putrinya dalam menjaga kehormatannya menuju surga yang dijanjikan
Rasulullah saw., telah dibentang oleh jurang yang tidak akan pernah bisa
dilewati lagi.
Jauh sebelum mama
mengungkapkan kalimat, “Na, jauh lebih sakit mama rasa adek Evi nikah ketimbang
ditinggalkan ayahmu lo.” Aku juga merasakan hal yang sama. Ayah meninggalkan
kami untuk kembali pada pemiliknya. Dan dia, aku seperti tidak pernah
mengenalnya. Bagiku detik itu adikku sudah mati. Kalau bukan karena mama, aku
lebih suka tidak pernah punya adik perempuan dan dia tidak lagi berfikir bahwa
dia punya kakak.
Sempat keluar dari
lisanku, “Fik, aku lebih baik tidak usah menikah lagi seumur hidup. Kalau kata
orang menikah itu demi punya anak, biarlah anak si Evi yang lahir itu menjadi
anakku. Keluarga baik-baik mana yang siap menerima perempuan dari keluarga
tidak baik menjadi orang baru dalam keluarganya. Tidak menikah itu bukan aib,
aib yang sebenarnya adalah perzinahan.”
Yah. Kalau bukan
karena mama, aku lebih suka membiarkannya hidup dengan keluarga baru yang
secara akal sehat tidak akan bisa memberinya kebahagian dunia bahkan akhirat.
Sakit, apa yang telah dia lakukan ini begitu menyakitkan. Aku bertengkar dan
menikmati idul fitri pertamaku seorang diri di tempat asing, padahal aku masih
punya orang tua. Karena apa? Karena mama diam-diam menjerumuskan dirinya dalam
dosa riba demi kuliahnya. Mama sendiri yang mengakui, “Mama, kalau adek Evi
yang nelpon, pasti setelahnya mama mencret-mencret, Na.”
Ya Rabb... meski demikian. Tetap kusematkan namanya dalam doaku. Ku
mohon, agar engkau membuka pintu hidayah baginya jika sampai hari ini ia belum
bertaubat. Engkau terima taubatnya, dan Engkau jadikan ia sebagai pembuka pintu
hidayah bagi keluarga barunya. Engkaulah yang Maha Tahu, bahwa jauh di dalam
hatiku, Lillah. Demi-Mu ya Rabb, aku tidak ikhlas atas pernikahannya sampai ia
ajari suaminya untuk tidak lagi meninggalkan kewajiban mereka sebagai umat-Mu.
Hampir 8 tahun kami
bersama dan jauh dari orang tua, aku melihat betapa royalnya dia. Sekarang
kudapati dia begitu pelit. Bagaimana tidak, dia harus mencukupkan diri dengan
pendapatan suami yang bahkan lebih kecil dari penghasilannya dulu saat bekerja
yang dia habiskan sendiri. Jangankan mama, aku saja menangis tersayat-sayat.
Allah...
Bukankah selama ini di
sujud-sujud malamku, disetiap aku menengadahkan tangan aku berdoa? “Ya Allah, sayangilah kedua orang tuaku. Aku
sedang berada jauh dari keduanya. Sayangilah kedua orang tuaku yang telah
menyekolahkan kami putra-putrinya dalam pendidikan untuk bisa taat kepada-MU.
Jaga mereka ya Allah, sebab sekarang kami semua saling berjauhan. Kutitipkan
mereka semua, Ayah, Mama dan kedua adikku, dalam penjagaan-Mu, karena Engkaulah
sebaik-baik Penjaga.”
Sekarang aku 27 tahun.
Impianku untuk bisa
melanjutkan kuliah di luar negeri pelan-pelan telah kukubur bersama kepergian
Ayah. Pria impian untuk menyempurnakan separuh agamaku telah pergi jauh bersama
detak jantung suara bayi yang ku dengar saat USG Evi. Sekarang aku cuma punya
mama, perempuan yang mempersulit baktiku padanya karena baktinya pada ibunya.
Sekarang aku 27 tahun.
Harapanku, bahuku
lebih kuat lagi, sabarku semakin terkendali dan lisanku semakin terjaga.
Cita-citaku masih sama, aku ingin menjadi Putri sulung Ayah dan mama, kakak
dari dua adikku sampai ke surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar