Rabu, 22 Agustus 2018

Tentang Sebuah Cita-cita


Tentang Sebuah Cita-cita

                6 hari sejak usiaku genap 27 tahun. Siapa sangka, aku yang sejak pertama kali kuliah udah kodein orang tua agar dapat izin untuk menikah muda, hingga hari ini masih sendiri. Yah, masih ada alasan tak terungkap yang mengganjal untuk mempercayakan surgaku yang selama ini terletak di bawah kedua kaki mama, berpindah pada laki-laki asing itu.
                Hari ini tepat 10 Zulhijjah, hari raya idul adha, hari raya qurban, hari raya terbesar umat Islam yang di dalamnya ada 4 hari yang diharamkan untuk berpuasa. Ah, rindu. Ah, mungkin ini tentang cita-citaku yang kerap kali harus kutunda pencapaiannya karena ridha orang tua. Bukan, aku bukan bermaksud untuk menyalahkan keberadaannya sebagai penghalang, sebab bagiku, hidup ini hanya sementara dan ada cita-cita besar lain yang paling aku impikan ketimbang cita-cita yang masih bisa kutunda itu.
                Jika boleh mengungkap permohonan, maka aku tetap ingin diberikan bahu yang kuat, kesabaran yang senantiasa bisa dikendalikan dan lisan yang terjaga dari ha-hal yang buruk. Tersebab setahun sebelumnya adalah masa-masa terberat yang pernah kualami sepanjang hidupku. Dan pasti, jika berpedoman pada pertumbuhan sebatang pohon, aku akan bertemu dengan terpaan angin yang lebih dahsyat lagi.
`               Getar-getir pengalaman kerja selama 1 semester yang berujung pada sebuah kalimat yang membuat bibir tersenyum tapi hati bergejolak. Sampai akhirnya aku mempelajari hikmah kesempatan membersamai ayah di hari-hari terakhirnya. Tapi sakit yang sebenarnya bukan saat harus mengikhlaskan kepergian ayah kembali pada Rabbnya, melainkan saat harus meninggalkan mama seorang diri bertemankan dengan kenangan-kenangannya selama 27 tahun lebih bersama sang belahan jiwa.
                Aku si putri sulung yang begitu mengidolakan ayahnya. Sampai-sampai dulu sekali, jauh sebelum aku mencapai usia baligh, aku berkeinginan agar dipertemukan dengan laki-laki yang persis seperti ayah. Berat untuk seorang anak yang mewarisi, bukan, bahkan aku berusaha sepanjang aku bersama ayah untuk menyamai semua kepribadiannya. Caranya menyelesaikan masalah, marah, makanan kesukaan, hobby, sampai ekspresi melepas rindu. Aku adalah putri pengganti nama panggilannya yang seperti Aisyah ra berkomentar pada Fatimah binti Rasulullah saw. “Ia sama persis seperti abinya.” Bahkan aku membaca isi benaknya hanya lewat sorot matanya.
                “Aku seringkali dimimpiin ayah,” ceritaku pada satu-satunya saudara laki-lakiku yang sekarang perwalianku ada di pundaknya. Jawaban yang kudapat, “Kak, jangan beratkan ayah cuma karena kakak belum ikhlas.”
                Yah, Fatimah pun menangis saat Rasulullah mengabarkan bahwa ia akan bertemu Rabb-nya dalam waktu dekat. Ia baru bisa tersenyum saat Rasulullah menghiburnya dengan kalimat, “Dan aku melihat, di antara keturunanku, kaulah yang menyusulku lebih awal.”
                Aku. Ayah tak memberi pesan yang sama. Karena ayahku yang begitu hebat itu sangat jauh sekali dari rasulullah saw. Sampai akhirnya aku ikhlas, dalam arti aku melupakan ketidakberadaannya di sisiku sekarang, aku menganggap ia masih ada di rumah bersama mama. Kapanpun aku pulang, ia adalah orang pertama yang menyambutku di depan pintu dengan sorot mata kerinduannya, seperti biasa. Aku harus dihadapkan pada sebuah kenyataan lain.
                Kenyataan bahwa adik perempuanku harus melepas masa kesendiriannya dan secepatnya bersiap menjalani hidup dengan keluarga barunya. Hari itu, ternyata adalah hari yang lebih berat lagi. Bahkan lebih menyakitkan dibandingkan aku melihat sendiri ayah melepas nafasnya yang terakhir dan kembali pada Rabb-nya. Jauh lebih berat dibanding saat aku harus meninggalkan mama sendiri dengan bayangan kenangan-kenangan kebersamaannya dengan ayah. Sampai-sampai lisanku kaku, kakiku melangkah tapi tak menyadari arah langkah kakinya.
                Begitu teganya dia menghancurkan kepercayaanku, melukai perasaan mama yang masih dirundung duka. Ah, bahkan kukatakan, “Adikku ini bandal, bahkan paling bandal di rumah, tapi tak pernah sekalipun aku tahu dia berani membuat jelek nama keluarga ketika dia bersama orang lain. Sampai-sampai tidak ada yang percaya kalau kukatakan dia bandal. Karena satu-satunya yang tau kenalakannya cuma kami serumah, bahkan keluarga dekat sekalipun tidak akan percaya. Bahkan, sampai kudengar tadi di perutnya ada detak jantung bayi, aku masih tidak percaya, karena seberapa kuat kami memaksa dia tidak pernah mengakuinya.”
                Detik itu. Detik saat laki-laki yang sekarang merebut adik perempuan kesayanganku mengakui perbuatannya adalah detik mengerikan yang pernah kualami sepanjang perjalanan hidupku. Sungguh, pikiranku langsung teringat pada saat aku meminta izin pada ayah untuk pulang ke Medan waktu itu, “Ayah, Ana balik ke Medan dulu ya. Ana masih ada jadwal ngajar minggu ini. Ana janji sabtu pagi Ana udah nyampek rumah lagi. Sampai akhir bulan adek Evi janji akan berhenti kerja dan pulang untuk jagain Ayah.”
                Yah. Mulanya kupikir hari itu adalah hari terberat bagiku, karena untuk pertama kalinya aku melihat Ayah memalingkan wajahnya dariku. Kupikir Ayah tidak mengijinkan aku meninggalkannya. Tapi setelah kejadian malam itu, aku teringat. Ayah memalingkan wajahnya tepat saat aku menyebutkan sebuah nama. Allah...
                Impianku sederhana. Aku tetap ingin menjadi putri ayah dan mama, kakak dari sepasang adikku sampai ke surga. Tapi hari itu, Ayah yang berpulang dengan meninggalkan kesan baik dari penuturan setiap orang yang mengenalnya. Bahkan kabar tentang bau harum yang keluar dari tanah kuburannya selama tiga malam pertama jasadnya berpindah ke asalnya. Tiba-tiba kurasakan malaikat sedang mencambuknya tersebab dosa oleh putri yang pernah diamanahkan dalam penjagaannya. Doa anak yang sholeh sebagai penolongnya telah tidak sempurna. Jalan pintas bagi kedua orang tua yang mendidik kedua putrinya dalam menjaga kehormatannya menuju surga yang dijanjikan Rasulullah saw., telah dibentang oleh jurang yang tidak akan pernah bisa dilewati lagi.
                Jauh sebelum mama mengungkapkan kalimat, “Na, jauh lebih sakit mama rasa adek Evi nikah ketimbang ditinggalkan ayahmu lo.” Aku juga merasakan hal yang sama. Ayah meninggalkan kami untuk kembali pada pemiliknya. Dan dia, aku seperti tidak pernah mengenalnya. Bagiku detik itu adikku sudah mati. Kalau bukan karena mama, aku lebih suka tidak pernah punya adik perempuan dan dia tidak lagi berfikir bahwa dia punya kakak.
                Sempat keluar dari lisanku, “Fik, aku lebih baik tidak usah menikah lagi seumur hidup. Kalau kata orang menikah itu demi punya anak, biarlah anak si Evi yang lahir itu menjadi anakku. Keluarga baik-baik mana yang siap menerima perempuan dari keluarga tidak baik menjadi orang baru dalam keluarganya. Tidak menikah itu bukan aib, aib yang sebenarnya adalah perzinahan.”
                Yah. Kalau bukan karena mama, aku lebih suka membiarkannya hidup dengan keluarga baru yang secara akal sehat tidak akan bisa memberinya kebahagian dunia bahkan akhirat. Sakit, apa yang telah dia lakukan ini begitu menyakitkan. Aku bertengkar dan menikmati idul fitri pertamaku seorang diri di tempat asing, padahal aku masih punya orang tua. Karena apa? Karena mama diam-diam menjerumuskan dirinya dalam dosa riba demi kuliahnya. Mama sendiri yang mengakui, “Mama, kalau adek Evi yang nelpon, pasti setelahnya mama mencret-mencret, Na.”
                Ya Rabb... meski demikian. Tetap kusematkan namanya dalam doaku. Ku mohon, agar engkau membuka pintu hidayah baginya jika sampai hari ini ia belum bertaubat. Engkau terima taubatnya, dan Engkau jadikan ia sebagai pembuka pintu hidayah bagi keluarga barunya. Engkaulah yang Maha Tahu, bahwa jauh di dalam hatiku, Lillah. Demi-Mu ya Rabb, aku tidak ikhlas atas pernikahannya sampai ia ajari suaminya untuk tidak lagi meninggalkan kewajiban mereka sebagai umat-Mu.
                Hampir 8 tahun kami bersama dan jauh dari orang tua, aku melihat betapa royalnya dia. Sekarang kudapati dia begitu pelit. Bagaimana tidak, dia harus mencukupkan diri dengan pendapatan suami yang bahkan lebih kecil dari penghasilannya dulu saat bekerja yang dia habiskan sendiri. Jangankan mama, aku saja menangis tersayat-sayat. Allah...
                Bukankah selama ini di sujud-sujud malamku, disetiap aku menengadahkan tangan aku berdoa? “Ya Allah, sayangilah kedua orang tuaku. Aku sedang berada jauh dari keduanya. Sayangilah kedua orang tuaku yang telah menyekolahkan kami putra-putrinya dalam pendidikan untuk bisa taat kepada-MU. Jaga mereka ya Allah, sebab sekarang kami semua saling berjauhan. Kutitipkan mereka semua, Ayah, Mama dan kedua adikku, dalam penjagaan-Mu, karena Engkaulah sebaik-baik Penjaga.”
                Sekarang aku 27 tahun.
                Impianku untuk bisa melanjutkan kuliah di luar negeri pelan-pelan telah kukubur bersama kepergian Ayah. Pria impian untuk menyempurnakan separuh agamaku telah pergi jauh bersama detak jantung suara bayi yang ku dengar saat USG Evi. Sekarang aku cuma punya mama, perempuan yang mempersulit baktiku padanya karena baktinya pada ibunya.
                Sekarang aku 27 tahun.
                Harapanku, bahuku lebih kuat lagi, sabarku semakin terkendali dan lisanku semakin terjaga. Cita-citaku masih sama, aku ingin menjadi Putri sulung Ayah dan mama, kakak dari dua adikku sampai ke surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar